Kesalahan
yang dilakukan anak kecil yang belum baligh, tidak dinilai sebagai perbuatan
dosa. Apalagi ketika itu dilakukan secara tidak sengaja. Baik kesalahan karena
perbuatan, maupun kesalahan karena ucapan lisan.
رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ
الـمَجْنُونِ المَغلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَـحْتَلِمَ
“Pena
catatan amal itu diangkat, untuk tiga orang: orang gila yang hilang akal sampai
dia sadar, orang yang tidur sampai dia bangun, dan anak kecil sampai dia
baligh.”
(HR. Nasai 3432, Abu Daud 4398, Turmudzi 1423, dan disahihkan Syuaib al-Arnauth)
Hanya
saja, ada beberapa catatan yang perlu kita perhatikan terkait kesalahan yang
dilakukan anak kecil,
Pertama, anak kecil
tidak boleh dibiarkan tenggelam dalam kesalahan, meskipun dia tidak berdosa.
Karena
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menolak setiap
kemungkaran. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Siapa di antara kalian yang melihat
kemungkaran, maka dia harus mengingkarinya dengan tangannya, jika tidak mampu
dia harus mengingkarinya dengan lisannya, dan jika tidak mampu dia harus
mengingkari dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah (dalam ibadah
nahi munkar).”
(HR. Muslim 49).
Dan
kemungkaran, mencakup semua bentuk pelanggaran syariat, meskipun pelakunya
tidak berdosa. Seperti yang dilakukan anak kecil, atau orang gila, atau
binatang.
Al-Marudzi
menceritakan,
رأيت أبا
عبد الله مر على صبيان الكتاب يقتتلون ففرق بينهم
Aku
pernah melihat Imam Ahmad melewati beberapa anak TPA yang bertengkar. Kemudian
beliau memisahkan mereka semua. (al-Adab as-Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/162).
Mereka
dipisah oleh Imam Ahmad, karena bertengkar adalah kemungkaran. Meskipun mereka
– anak-anak – tidak berdosa dalam melakukannya.
Orang
gila yang mengganggu, itu kemungkaran, meskipun dia tidak berdosa. Ayam jago
yang bertarung, itu kemungkaran, meskipun ayam tidak berdosa. Dan semua itu
harus kita ingkari dan kita ubah.
Karena
itu, ketika keluar ucapan jorok dari anak, dia harus diperingatkan agar tidak
mengulangi, dilarang keras untuk mengucapkan kalimat itu. Bukan malah
ditertawakan, karena bisa membuat dia semakin mencari perhatian dengan
mengulang kembali kalimat itu. Atau bisa juga dia mengira dengan ditertawakan
berarti disetujui. Dan itu lebih berbahaya.
Kedua, jika
pelanggaran yang dilakukan oleh anak ini merugikan orang lain atau ada unsur
merusak, maka walinya bertanggung jawab dengan menggantinya (dhiman), meskipun
pelakunya yaitu si anak, tidak berdosa.
Ibnu
Abdil Bar mengatakan,
الأمر
المجتمع عليه عندنا في ذلك أن الأموال تُضمن بالعمد والخطأ
Sesuatu
yang disepakat para ulama kami, bahwa semua harta yang dirusak, wajib diganti,
baik sengaja maupun tidak sengaja. (al-Istidzkar, 7/279)
Ketiga, orang tua
perlu cari tahu sebab anak ini mengucapkan kalimat seperti itu…
Diantara
mereka ada yang hanya sebatas tiru-tiru kawannya, atau pernah dengar dari orang
lain, atau dari orang tuanya. Karena anak terlahir dalam kondisi bersih, sesuai
fitrah. Namun lingkungan terkadang yang membuatnya jadi kotor.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
كُلُّ
مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ
“Setiap manusia yang lahir, mereka lahir dalam
keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani” (HR. Bukhari
1385 & Muslim 6926).
Karena
itulah, tugas orang tua berusaha untuk membersihkan anak-anak jika kotor karena
lingkungan dan menghiasinya dengan ajara islam, agar fitrah ini menjadi semakin
indah..
oleh
Ustadz Ammi Nur Baits
sumber:
0 komentar:
Posting Komentar